Membangun Rasa Sayang dan Penerimaan Diri di Pesantren : Perspektif Islam tentang Self-Acceptance


Setiap santri di pesantren adalah anugerah dari Allah Swt. yang unik dan berharga. Di tengah tuntutan hafalan, pengkajian kitab kuning, dan disiplin yang ketat, seringkali aspek kesejahteraan batin dan penerimaan diri terabaikan. Padahal, rasa sayang dan penerimaan diri (self-acceptance) adalah fondasi utama bagi tumbuh kembang santri yang sehat secara psikologis, spiritual, dan sosial [1]. Artikel ini akan mengulas konsep self-acceptance dalam kacamata Islam dan bagaimana pesantren dapat menjadi ruang yang kondusif untuk menumbuhkan kualitas mulia ini pada setiap santri.

Self-Acceptance dalam Tinjauan Psikologi dan Relevansinya bagi Santri

Secara psikologis, self-acceptance adalah kemampuan individu untuk menerima semua aspek dirinya, baik kelebihan maupun kekurangan, tanpa syarat atau penilaian negatif yang berlebihan [2]. Ini bukan berarti tidak ada keinginan untuk memperbaiki diri, melainkan sebuah penerimaan yang tulus terhadap realitas diri saat ini. Bagi santri, pentingnya self-acceptance sangatlah besar:

Mengurangi Stres dan Kecemasan: Tuntutan akademik dan sosial di pesantren, seperti target hafalan atau perbandingan dengan teman, bisa memicu stres. Penerimaan diri membantu santri untuk tidak terlalu keras pada diri sendiri dan mengurangi kecemasan akan ketidaksempurnaan.

Meningkatkan Percaya Diri: Santri yang menerima dirinya cenderung lebih percaya diri untuk berinteraksi, mengungkapkan pendapat, dan berpartisipasi dalam kegiatan pesantren tanpa rasa takut dihakimi [3].

Membangun Hubungan Sosial yang Sehat: Penerimaan diri yang positif memungkinkan santri untuk menjalin hubungan yang otentik dengan sesama, karena mereka tidak perlu berpura-pura menjadi orang lain.

Fondasi Self-Acceptance dalam Ajaran Islam

Islam, sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin, sangat menganjurkan umatnya untuk mengenal, mencintai, dan menerima diri sebagai ciptaan terbaik Allah Swt. Beberapa konsep kunci dalam Islam yang mendukung self-acceptance meliputi:

Manusia sebagai Makhluk Terbaik (Ahsanut Taqwin): Allah Swt. berfirman dalam Surah At-Tin ayat 4: “Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” (QS. At-Tin: 4). Ayat ini menegaskan bahwa manusia diciptakan dengan sempurna, baik fisik maupun mental. Kesadaran akan kemuliaan ciptaan ini dapat menumbuhkan rasa syukur dan penerimaan terhadap diri apa adanya, karena setiap individu adalah manifestasi dari kesempurnaan ciptaan-Nya [4].

Konsep Tawakkal dan Qana’ah: Tawakkal adalah berserah diri sepenuhnya kepada Allah setelah berusaha maksimal. Ini mengajarkan santri untuk menerima hasil dari usaha mereka dengan hati lapang, terlepas dari sempurna atau tidaknya. Sedangkan qana’ah adalah merasa cukup dan puas dengan apa yang ada [5]. Kedua sifat ini membantu santri menerima diri mereka, termasuk keterbatasan atau kelebihan yang ada, tanpa perlu membandingkan diri dengan orang lain secara berlebihan.

Kasih Sayang dan Pengampunan Allah (Ar-Rahman, Ar-Rahim, Al-Ghaffar): Allah adalah Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Kesadaran bahwa Allah senantiasa memberikan rahmat dan ampunan, bahkan atas dosa-dosa yang telah diperbuat, dapat menumbuhkan harapan dan penerimaan diri bahwa setiap kesalahan adalah bagian dari proses belajar dan bukan akhir dari segalanya [6]. Ini mendorong santri untuk bertaubat, memperbaiki diri, dan tidak terlarut dalam rasa bersalah yang merusak penerimaan diri.

Ujian dan Cobaan sebagai Proses Pendewasaan: Hidup ini adalah ujian, dan setiap santri akan menghadapi tantangan, baik dalam pelajaran, pergaulan, maupun kehidupan pribadi. Dalam Islam, ujian dipandang sebagai sarana untuk meningkatkan derajat dan membersihkan dosa [7]. Dengan memahami ini, santri dapat menerima kegagalan atau kesulitan sebagai bagian dari proses pendewasaan, bukan sebagai bukti ketidakmampuan diri.

    Peran Pesantren dalam Menumbuhkan Self-Acceptance pada Santri

    Pesantren memiliki posisi yang unik dan strategis untuk menanamkan self-acceptance pada santri melalui pendekatan yang komprehensif:

    Lingkungan yang Mendukung dan Tidak Menghakimi:

    1. Kearifan Kyai dan Ustadz/Ustadzah: Para pengasuh dan pengajar harus menjadi teladan dalam menunjukkan kasih sayang, empati, dan sikap tidak menghakimi. Mereka perlu menciptakan iklim di mana santri merasa aman untuk mengungkapkan kesulitan atau kelemahan tanpa takut dicemooh [8].

    2. Program Bimbingan dan Konseling: Pesantren perlu memiliki sistem bimbingan dan konseling yang aktif, di mana santri dapat berbicara tentang masalah pribadi, kecemasan, atau kesulitan akademik dengan konselor yang terlatih dan memahami konteks pesantren. Konselor dapat membantu santri melihat potensi diri dan menerima keunikan mereka.

    Pembelajaran yang Berpusat pada Perkembangan Holistik:

    1. Penekanan pada Proses, Bukan Hanya Hasil: Selain menekankan pencapaian akademik (hafalan, nilai), pesantren perlu menyoroti proses belajar, usaha, dan peningkatan diri setiap santri. Penghargaan atas usaha dapat memupuk motivasi internal dan penerimaan diri, terlepas dari seberapa cepat mereka mencapai target [9].

    2. Integrasi Pendidikan Karakter Islami: Pembelajaran nilai-nilai seperti syukur, sabar, jujur, ikhlas, dan rendah hati secara konsisten akan membentuk karakter santri yang kuat dan menerima diri dengan lapang dada.

    Aktivitas Sosial dan Keagamaan yang Inklusif:

    1. Pembiasaan Diskusi dan Musyawarah: Memberikan ruang bagi santri untuk berpendapat dan menghargai perbedaan pandangan dalam diskusi (misalnya, halaqah atau forum musyawarah) dapat meningkatkan rasa percaya diri dan penerimaan terhadap keragaman.

    2. Kegiatan Ekstrakurikuler yang Beragam: Menyediakan pilihan kegiatan yang bervariasi (seni kaligrafi, tilawah, olahraga, pidato, dll.) memungkinkan santri untuk menemukan minat dan bakat mereka, sehingga mereka merasa dihargai atas keunikan yang dimiliki.

    3. Penanaman Nilai Ukhuwah Islamiyah: Menguatkan rasa persaudaraan sesama muslim dapat menciptakan lingkungan yang saling mendukung, di mana santri merasa menjadi bagian dari komunitas dan tidak sendiri dalam menghadapi tantangan [10].

    Literasi Kesehatan Mental dalam Perspektif Islami:

    1. Mengintegrasikan Ajaran Islam dengan Kesehatan Mental: Mengadakan sesi-sesi kajian atau halaqah yang membahas kesehatan mental dari perspektif Islam, seperti bagaimana Islam mengajarkan pengelolaan emosi, kesabaran, dan self-compassion (kasih sayang pada diri sendiri). Ini dapat membantu menghilangkan stigma negatif terhadap masalah kesehatan mental.

    2. Mendorong Refleksi Diri (Muhasabah): Mengajarkan dan membiasakan santri untuk melakukan muhasabah (introspeksi diri) secara rutin, namun dengan tujuan untuk perbaikan diri, bukan untuk menghakimi atau mencela diri secara berlebihan.

      Kesimpulan

      Self-acceptance adalah anugerah ilahi yang perlu ditumbuhkan dan dipupuk dalam diri setiap santri. Dengan mengakar pada nilai-nilai luhur Islam dan didukung oleh lingkungan pesantren yang penuh kasih sayang, inklusif, dan suportif, setiap santri dapat belajar untuk menerima diri mereka seutuhnya. Ini akan menjadi fondasi kokoh bagi mereka untuk menghadapi tantangan hidup, berkembang menjadi pribadi yang mandiri, percaya diri, dan beriman, serta mampu memberikan kontribusi terbaik bagi umat dan bangsa.

      Referensi:

      [1] Hidayati, F. (2014). Penerimaan Diri dan Kesejahteraan Subjektif Mahasiswa. Jurnal Psikologi Universitas Airlangga. (Akses melalui Google Scholar untuk artikel serupa yang mengaitkan penerimaan diri dengan kesejahteraan).

      [2] Ryan, R. M., & Deci, E. L. (2000). Self-determination theory and the facilitation of intrinsic motivation, social development, and well-being. American Psychologist, 55(1), 68–78. (Konsep self-acceptance sebagai bagian dari well-being).

      [3] Coopersmith, S. (1967). The antecedents of self-esteem. W. H. Freeman. (Studi klasik tentang hubungan self-esteem dan penerimaan diri).

      [4] Al-Qur’an Surah At-Tin: 4.

      [5] Al-Ghazali. (n.d.). Ihya Ulumuddin. (Konsep tawakkal dan qana’ah dalam literatur klasik Islam).

      [6] Al-Qur’an (berbagai ayat tentang Ar-Rahman, Ar-Rahim, Al-Ghaffar).

      [7] HR. Muslim (hadis tentang ujian sebagai penghapus dosa dan peningkat derajat).

      [8] Suryadi. (2020). Peran Kyai dan Ustadz dalam Pembentukan Karakter Santri. Jurnal Pendidikan Islam. (Cari di Google Scholar untuk studi yang lebih spesifik mengenai peran pengasuh di pesantren).

      [9] Dweck, C. S. (2006). Mindset: The new psychology of success. Random House. (Konsep growth mindset yang relevan dengan fokus pada proses daripada hasil).

      [10] Al-Qur’an Surah Al-Hujurat: 10 (tentang persaudaraan Islam).

      Bagikan :

      Subscribe for updates

      Copyright © 2025 · Shuffah Al Jama’ah · All Right Reserved