Masa Depan Santri: Mempersiapkan Generasi Unggul dengan Pondasi Agama Kuat

TASIKMALAYA, PONPES SHUFFAH AL JAMA’AH — Di tengah arus globalisasi dan perkembangan teknologi yang begitu pesat, peran lembaga pendidikan Islam, khususnya pesantren, menjadi semakin krusial. Pesantren tidak hanya berfungsi sebagai garda terdepan dalam menjaga tradisi keilmuan Islam, tetapi juga sebagai kawah candradimuka yang mempersiapkan generasi unggul dengan pondasi agama yang kokoh untuk menghadapi tantangan masa depan.

Pertanyaan krusialnya, bagaimana pesantren dapat terus relevan dan memastikan santri-santrinya siap bersaing di kancah global tanpa kehilangan identitas keislaman mereka? Jawabannya terletak pada sinergi antara kurikulum yang adaptif, pembentukan karakter yang holistik, dan pemanfaatan teknologi secara bijak.

Mengembangkan Kecakapan Abad 21

Untuk menjadi generasi unggul, santri perlu dibekali dengan kecakapan abad ke-21 yang relevan dengan kebutuhan dunia kerja dan kehidupan sosial. Ini meliputi:

1. Kemampuan Berpikir Kritis dan Pemecahan Masalah: Santri tidak hanya menghafal, tetapi juga diajak menganalisis, berdiskusi, dan mencari solusi atas berbagai persoalan, baik dalam konteks keagamaan maupun umum.

2. Kreativitas dan Inovasi: Mendorong santri untuk berpikir out-of-the-box, menciptakan ide-ide baru, dan mengembangkan potensi diri di berbagai bidang, mulai dari kewirausahaan hingga seni.

3. Komunikasi dan Kolaborasi: Kemampuan bekerja sama dalam tim, menyampaikan gagasan dengan jelas, dan bernegosiasi adalah keterampilan esensial yang dapat diasah melalui berbagai kegiatan organisasi dan proyek kelompok di pesantren.

4. Literasi Digital: Membekali santri dengan pemahaman tentang teknologi informasi, keamanan siber, dan etika berinternet, sehingga mereka dapat memanfaatkan teknologi secara produktif dan bertanggung jawab.

Pondasi Agama sebagai Kompas Kehidupan

Inti dari pendidikan pesantren adalah penanaman nilai-nilai agama yang kuat. Ini bukan sekadar hafalan Al-Qur’an dan hadis, melainkan pemahaman mendalam tentang ajaran Islam yang melahirkan akhlak mulia, integritas, dan kearifan. Pondasi ini berfungsi sebagai kompas moral bagi santri.

Di era disrupsi informasi, kemampuan memilah kebenaran dari kebatilan, serta memegang teguh prinsip-prinsip keadilan dan kemanusiaan, menjadi sangat penting. Santri yang dibekali dengan pemahaman agama yang kuat akan memiliki filter internal terhadap pengaruh negatif dan mampu menjadi agen perubahan positif di masyarakat.

Peran Asatidz dan Ekosistem Pesantren

Kualitas asatidz (guru dan pengajar) adalah kunci keberhasilan. Asatidz masa kini diharapkan tidak hanya menguasai ilmu agama, tetapi juga memiliki pemahaman pedagogi modern, peka terhadap perkembangan zaman, dan mampu menjadi teladan bagi santri.

Selain itu, ekosistem pesantren juga harus mendukung:

1. Lingkungan Pembelajaran yang Dinamis: Tidak hanya di kelas, tetapi juga melalui diskusi halaqah, riset mandiri, dan proyek-proyek inovatif.

2. Jaringan Alumni: Alumni yang sukses di berbagai bidang dapat menjadi inspirasi dan mentor bagi santri yang masih belajar, sekaligus membuka jejaring untuk masa depan mereka.

3. Kemitraan dengan Dunia Luar: Kolaborasi dengan perguruan tinggi, industri, atau organisasi sosial dapat memberikan pengalaman praktis dan memperluas wawasan santri.

Menyongsong Masa Depan dengan Optimisme

Mempersiapkan santri untuk masa depan bukanlah tugas yang mudah, namun sangat mungkin dilakukan. Dengan kombinasi pendidikan agama yang mendalam, pengembangan keterampilan relevan, dukungan ekosistem yang kondusif, dan bimbingan asatidz yang kompeten, pesantren dapat terus mencetak generasi santri unggul yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga tangguh secara spiritual, siap menghadapi tantangan zaman, dan berkontribusi nyata bagi kemajuan bangsa dan umat.

Santri masa depan adalah agen perubahan yang membawa nilai-nilai keislaman sebagai solusi bagi problematika dunia. Mereka adalah harapan bangsa yang akan mewarnai peradaban dengan cahaya ilmu dan akhlak mulia.

Ketika Santri Berbagi Cerita: Kesiapan Orang Tua dalam Memberikan Dukungan Psikologis dan Konseling Efektif untuk Anak.

TASIKMALAYA, PONPES SHUFFAH AL JAMA’AH — Pesantren adalah lembaga pendidikan yang membentuk karakter dan kemandirian santrinya. Namun, jauh dari rumah dan dalam lingkungan yang baru, tak jarang santri mengalami berbagai adaptasi, mulai dari rindu rumah (homesick), kesulitan berinteraksi, hingga tantangan dalam pelajaran. Saat santri akhirnya membuka diri dan berbagi cerita tentang keadaannya, peran orang tua menjadi krusial. Lebih dari sekadar pendengar, orang tua harus siap menjadi pendukung psikologis dan konselor efektif yang mampu membantu anak melewati masa-masa sulit tersebut.

Memahami Kebutuhan Psikologis Santri

Pertama dan terpenting, orang tua perlu memahami bahwa curahan hati santri bukanlah sekadar keluhan, melainkan sinyal adanya kebutuhan psikologis yang perlu diperhatikan. Mereka mungkin merasa kesepian, tertekan, atau bahkan mengalami kecemasan. Kesibukan di pesantren seringkali membuat mereka memendam perasaan, dan ketika akhirnya berani bercerita, itu adalah momen kepercayaan yang harus dihargai.

Kesiapan mental orang tua untuk mendengarkan tanpa menghakimi adalah fondasi utama. Hindari respons seperti “Ah, itu biasa, semua juga begitu” atau “Kamu kan sudah besar, masa gitu aja mengeluh.” Respons semacam ini dapat menutup komunikasi dan membuat santri enggan berbagi lagi di kemudian hari. Sebaliknya, tunjukkan empati dan validasi perasaan mereka. Misalnya, “Mama/Papa mengerti kalau kamu merasa kesepian, itu wajar kok.”

Peran Orang Tua sebagai Konselor Pertama

Sebagai konselor pertama, ada beberapa langkah yang bisa dilakukan orang tua:

1. Dengarkan Aktif dan Penuh Perhatian: Berikan waktu sepenuhnya saat santri bercerita. Jauhkan gangguan seperti ponsel atau pekerjaan lain. Tatap mata mereka, berikan anggukan, atau respons singkat yang menunjukkan Orang Tua benar-benar menyimak. Biarkan mereka menyelesaikan ceritanya tanpa interupsi.

2. Validasi Perasaan, Bukan Masalahnya: Penting untuk memvalidasi perasaan santri, bukan selalu setuju dengan masalah atau keluhan mereka. Contoh: “Mama/Papa bisa merasakan betapa beratnya ini bagimu,” bukan “Memang temanmu itu keterlaluan!” Validasi ini membantu mereka merasa dipahami dan tidak sendiri.

3. Tanyakan Pertanyaan Terbuka: Daripada pertanyaan yang hanya bisa dijawab ya atau tidak, ajukan pertanyaan terbuka yang mendorong santri untuk bercerita lebih jauh. Contoh: “Apa yang membuatmu merasa begitu?” atau “Bagaimana rasanya setelah kejadian itu?”

4. Tawarkan Solusi Bersama, Bukan Memaksakan: Setelah santri selesai bercerita, ajak mereka berpikir tentang solusi. “Menurutmu, apa yang bisa kita lakukan untuk mengatasi ini?” atau “Bagaimana jika kita coba cara ini?” Pendekatan kolaboratif ini memberdayakan santri untuk menemukan jalan keluar sendiri, yang penting bagi kemandirian mereka.

5. Jaga Kerahasiaan (Jika Diminta): Penting untuk menghormati privasi santri. Jika mereka meminta agar cerita tersebut dirahasiakan, patuhilah permintaan tersebut kecuali jika ada indikasi bahaya serius. Kepercayaan adalah kunci dalam hubungan ini.

Dukungan Psikologis yang Berkelanjutan

Dukungan orang tua tidak berhenti setelah satu kali percakapan. Ini adalah proses berkelanjutan:

1. Jadwalkan Komunikasi Rutin: Usahakan untuk rutin menghubungi santri, baik melalui telepon, video call, atau kunjungan sesuai aturan pesantren. Tanyakan kabar mereka secara umum, namun berikan juga ruang bagi mereka untuk bercerita hal-hal yang lebih personal.

2. Berikan Apresiasi dan Motivasi: Ingatkan mereka tentang kekuatan dan potensi yang mereka miliki. Apresiasi setiap usaha kecil yang mereka lakukan dalam beradaptasi atau menyelesaikan masalah.

3. Libatkan Pihak Pesantren (Jika Diperlukan): Jika masalah yang dihadapi santri cukup serius atau tidak dapat diatasi sendiri, jangan ragu untuk berkoordinasi dengan pihak pesantren, seperti wali asrama, guru bimbingan konseling (BK), atau ustadz/ustadzah yang dipercaya. Sampaikan kekhawatiran Orang Tua dengan bijak dan kolaboratif.

4. Perhatikan Perubahan Perilaku: Kenali perubahan perilaku yang signifikan pada santri, seperti menjadi lebih pendiam, mudah marah, sulit tidur, atau kehilangan nafsu makan. Ini bisa menjadi indikasi masalah psikologis yang lebih dalam dan mungkin memerlukan bantuan profesional dari psikolog atau psikiater.

Masa di pesantren adalah fase penting dalam pembentukan diri santri. Dengan kesiapan dan dukungan yang tepat, orang tua dapat menjadi jangkar emosional yang kuat, membimbing anak-anak mereka menghadapi setiap tantangan, dan membantu mereka tumbuh menjadi pribadi yang tangguh, mandiri, serta bahagia. Kesiapan Orang Tua untuk mendengarkan, memahami, dan membimbing adalah hadiah terbesar bagi mereka.

Membangun Rasa Sayang dan Penerimaan Diri di Pesantren : Perspektif Islam tentang Self-Acceptance


Setiap santri di pesantren adalah anugerah dari Allah Swt. yang unik dan berharga. Di tengah tuntutan hafalan, pengkajian kitab kuning, dan disiplin yang ketat, seringkali aspek kesejahteraan batin dan penerimaan diri terabaikan. Padahal, rasa sayang dan penerimaan diri (self-acceptance) adalah fondasi utama bagi tumbuh kembang santri yang sehat secara psikologis, spiritual, dan sosial [1]. Artikel ini akan mengulas konsep self-acceptance dalam kacamata Islam dan bagaimana pesantren dapat menjadi ruang yang kondusif untuk menumbuhkan kualitas mulia ini pada setiap santri.

Self-Acceptance dalam Tinjauan Psikologi dan Relevansinya bagi Santri

Secara psikologis, self-acceptance adalah kemampuan individu untuk menerima semua aspek dirinya, baik kelebihan maupun kekurangan, tanpa syarat atau penilaian negatif yang berlebihan [2]. Ini bukan berarti tidak ada keinginan untuk memperbaiki diri, melainkan sebuah penerimaan yang tulus terhadap realitas diri saat ini. Bagi santri, pentingnya self-acceptance sangatlah besar:

Mengurangi Stres dan Kecemasan: Tuntutan akademik dan sosial di pesantren, seperti target hafalan atau perbandingan dengan teman, bisa memicu stres. Penerimaan diri membantu santri untuk tidak terlalu keras pada diri sendiri dan mengurangi kecemasan akan ketidaksempurnaan.

Meningkatkan Percaya Diri: Santri yang menerima dirinya cenderung lebih percaya diri untuk berinteraksi, mengungkapkan pendapat, dan berpartisipasi dalam kegiatan pesantren tanpa rasa takut dihakimi [3].

Membangun Hubungan Sosial yang Sehat: Penerimaan diri yang positif memungkinkan santri untuk menjalin hubungan yang otentik dengan sesama, karena mereka tidak perlu berpura-pura menjadi orang lain.

Fondasi Self-Acceptance dalam Ajaran Islam

Islam, sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin, sangat menganjurkan umatnya untuk mengenal, mencintai, dan menerima diri sebagai ciptaan terbaik Allah Swt. Beberapa konsep kunci dalam Islam yang mendukung self-acceptance meliputi:

Manusia sebagai Makhluk Terbaik (Ahsanut Taqwin): Allah Swt. berfirman dalam Surah At-Tin ayat 4: “Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” (QS. At-Tin: 4). Ayat ini menegaskan bahwa manusia diciptakan dengan sempurna, baik fisik maupun mental. Kesadaran akan kemuliaan ciptaan ini dapat menumbuhkan rasa syukur dan penerimaan terhadap diri apa adanya, karena setiap individu adalah manifestasi dari kesempurnaan ciptaan-Nya [4].

Konsep Tawakkal dan Qana’ah: Tawakkal adalah berserah diri sepenuhnya kepada Allah setelah berusaha maksimal. Ini mengajarkan santri untuk menerima hasil dari usaha mereka dengan hati lapang, terlepas dari sempurna atau tidaknya. Sedangkan qana’ah adalah merasa cukup dan puas dengan apa yang ada [5]. Kedua sifat ini membantu santri menerima diri mereka, termasuk keterbatasan atau kelebihan yang ada, tanpa perlu membandingkan diri dengan orang lain secara berlebihan.

Kasih Sayang dan Pengampunan Allah (Ar-Rahman, Ar-Rahim, Al-Ghaffar): Allah adalah Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Kesadaran bahwa Allah senantiasa memberikan rahmat dan ampunan, bahkan atas dosa-dosa yang telah diperbuat, dapat menumbuhkan harapan dan penerimaan diri bahwa setiap kesalahan adalah bagian dari proses belajar dan bukan akhir dari segalanya [6]. Ini mendorong santri untuk bertaubat, memperbaiki diri, dan tidak terlarut dalam rasa bersalah yang merusak penerimaan diri.

Ujian dan Cobaan sebagai Proses Pendewasaan: Hidup ini adalah ujian, dan setiap santri akan menghadapi tantangan, baik dalam pelajaran, pergaulan, maupun kehidupan pribadi. Dalam Islam, ujian dipandang sebagai sarana untuk meningkatkan derajat dan membersihkan dosa [7]. Dengan memahami ini, santri dapat menerima kegagalan atau kesulitan sebagai bagian dari proses pendewasaan, bukan sebagai bukti ketidakmampuan diri.

    Peran Pesantren dalam Menumbuhkan Self-Acceptance pada Santri

    Pesantren memiliki posisi yang unik dan strategis untuk menanamkan self-acceptance pada santri melalui pendekatan yang komprehensif:

    Lingkungan yang Mendukung dan Tidak Menghakimi:

    1. Kearifan Kyai dan Ustadz/Ustadzah: Para pengasuh dan pengajar harus menjadi teladan dalam menunjukkan kasih sayang, empati, dan sikap tidak menghakimi. Mereka perlu menciptakan iklim di mana santri merasa aman untuk mengungkapkan kesulitan atau kelemahan tanpa takut dicemooh [8].

    2. Program Bimbingan dan Konseling: Pesantren perlu memiliki sistem bimbingan dan konseling yang aktif, di mana santri dapat berbicara tentang masalah pribadi, kecemasan, atau kesulitan akademik dengan konselor yang terlatih dan memahami konteks pesantren. Konselor dapat membantu santri melihat potensi diri dan menerima keunikan mereka.

    Pembelajaran yang Berpusat pada Perkembangan Holistik:

    1. Penekanan pada Proses, Bukan Hanya Hasil: Selain menekankan pencapaian akademik (hafalan, nilai), pesantren perlu menyoroti proses belajar, usaha, dan peningkatan diri setiap santri. Penghargaan atas usaha dapat memupuk motivasi internal dan penerimaan diri, terlepas dari seberapa cepat mereka mencapai target [9].

    2. Integrasi Pendidikan Karakter Islami: Pembelajaran nilai-nilai seperti syukur, sabar, jujur, ikhlas, dan rendah hati secara konsisten akan membentuk karakter santri yang kuat dan menerima diri dengan lapang dada.

    Aktivitas Sosial dan Keagamaan yang Inklusif:

    1. Pembiasaan Diskusi dan Musyawarah: Memberikan ruang bagi santri untuk berpendapat dan menghargai perbedaan pandangan dalam diskusi (misalnya, halaqah atau forum musyawarah) dapat meningkatkan rasa percaya diri dan penerimaan terhadap keragaman.

    2. Kegiatan Ekstrakurikuler yang Beragam: Menyediakan pilihan kegiatan yang bervariasi (seni kaligrafi, tilawah, olahraga, pidato, dll.) memungkinkan santri untuk menemukan minat dan bakat mereka, sehingga mereka merasa dihargai atas keunikan yang dimiliki.

    3. Penanaman Nilai Ukhuwah Islamiyah: Menguatkan rasa persaudaraan sesama muslim dapat menciptakan lingkungan yang saling mendukung, di mana santri merasa menjadi bagian dari komunitas dan tidak sendiri dalam menghadapi tantangan [10].

    Literasi Kesehatan Mental dalam Perspektif Islami:

    1. Mengintegrasikan Ajaran Islam dengan Kesehatan Mental: Mengadakan sesi-sesi kajian atau halaqah yang membahas kesehatan mental dari perspektif Islam, seperti bagaimana Islam mengajarkan pengelolaan emosi, kesabaran, dan self-compassion (kasih sayang pada diri sendiri). Ini dapat membantu menghilangkan stigma negatif terhadap masalah kesehatan mental.

    2. Mendorong Refleksi Diri (Muhasabah): Mengajarkan dan membiasakan santri untuk melakukan muhasabah (introspeksi diri) secara rutin, namun dengan tujuan untuk perbaikan diri, bukan untuk menghakimi atau mencela diri secara berlebihan.

      Kesimpulan

      Self-acceptance adalah anugerah ilahi yang perlu ditumbuhkan dan dipupuk dalam diri setiap santri. Dengan mengakar pada nilai-nilai luhur Islam dan didukung oleh lingkungan pesantren yang penuh kasih sayang, inklusif, dan suportif, setiap santri dapat belajar untuk menerima diri mereka seutuhnya. Ini akan menjadi fondasi kokoh bagi mereka untuk menghadapi tantangan hidup, berkembang menjadi pribadi yang mandiri, percaya diri, dan beriman, serta mampu memberikan kontribusi terbaik bagi umat dan bangsa.

      Referensi:

      [1] Hidayati, F. (2014). Penerimaan Diri dan Kesejahteraan Subjektif Mahasiswa. Jurnal Psikologi Universitas Airlangga. (Akses melalui Google Scholar untuk artikel serupa yang mengaitkan penerimaan diri dengan kesejahteraan).

      [2] Ryan, R. M., & Deci, E. L. (2000). Self-determination theory and the facilitation of intrinsic motivation, social development, and well-being. American Psychologist, 55(1), 68–78. (Konsep self-acceptance sebagai bagian dari well-being).

      [3] Coopersmith, S. (1967). The antecedents of self-esteem. W. H. Freeman. (Studi klasik tentang hubungan self-esteem dan penerimaan diri).

      [4] Al-Qur’an Surah At-Tin: 4.

      [5] Al-Ghazali. (n.d.). Ihya Ulumuddin. (Konsep tawakkal dan qana’ah dalam literatur klasik Islam).

      [6] Al-Qur’an (berbagai ayat tentang Ar-Rahman, Ar-Rahim, Al-Ghaffar).

      [7] HR. Muslim (hadis tentang ujian sebagai penghapus dosa dan peningkat derajat).

      [8] Suryadi. (2020). Peran Kyai dan Ustadz dalam Pembentukan Karakter Santri. Jurnal Pendidikan Islam. (Cari di Google Scholar untuk studi yang lebih spesifik mengenai peran pengasuh di pesantren).

      [9] Dweck, C. S. (2006). Mindset: The new psychology of success. Random House. (Konsep growth mindset yang relevan dengan fokus pada proses daripada hasil).

      [10] Al-Qur’an Surah Al-Hujurat: 10 (tentang persaudaraan Islam).

      Pendidikan Shuffah adalah Embrio Pendidikan Perjuangan

      TASIKMALAYA, PONPES SHUFFAH AL JAMA’AH TASIKMALAYA — Dalam sejarah peradaban Islam, pendidikan memegang peran sentral dalam membentuk pribadi, masyarakat, dan arah perjuangan umat. Salah satu institusi pendidikan pertama yang dibentuk oleh Rasulullah ﷺ adalah Shuffah, sebuah tempat sederhana yang terletak di bagian belakang Masjid Nabawi, namun memiliki peran besar dalam melahirkan generasi pejuang Islam. Pendidikan Shuffah bukan hanya tempat belajar Al-Qur’an, tetapi juga madrasah perjuangan yang melahirkan kader-kader tangguh dan siap berkorban demi agama.

      Apa Itu Shuffah? Shuffah secara harfiah berarti “teras” atau “beranda”. Secara historis, Shuffah adalah area khusus di Masjid Nabawi yang diperuntukkan bagi kaum Muhajirin yang tidak memiliki tempat tinggal dan harta setelah hijrah ke Madinah. Di sinilah Rasulullah ﷺ membina mereka dengan pendidikan yang menyeluruh: ruhiyah, akhlakiyah, ilmiyah, dan jihadiah.

      Karakteristik Pendidikan Shuffah itu adalah Berbasis Masjid

      Pendidikan Shuffah langsung berpusat di Masjid Nabawi, menandakan bahwa pendidikan dan ibadah merupakan satu kesatuan. Masjid menjadi pusat spiritual, intelektual, dan sosial.

      Pendidikan yang Holistik — Di Shuffah, para sahabat tidak hanya mempelajari Al-Qur’an dan hadits, tetapi juga dilatih untuk hidup zuhud, bersabar, berjama’ah, serta siap menghadapi tantangan dakwah.

      Guru Langsung dari Rasulullah ﷺ sendiri menjadi pendidik utama — Ini menjadikan proses tarbiyah di Shuffah sarat dengan keteladanan dan pemahaman langsung dari wahyu.

      Melahirkan Kader Pejuang  — Banyak sahabat besar lahir dari lingkungan Shuffah: Abu Hurairah, Salman Al-Farisi, Bilal bin Rabah, dan lainnya. Mereka tidak hanya faqih dalam ilmu, tetapi juga menjadi barisan terdepan dalam dakwah dan jihad.

      Shuffah Sebagai Embrio Pendidikan Perjuangan.

      Mengapa Shuffah disebut sebagai embrio pendidikan perjuangan?

      Menanamkan Semangat Pengorbanan dan Keteguhan — Hidup dalam kesederhanaan, makan seadanya, dan tinggal di masjid menjadi latihan mental bagi para penghuni Shuffah. Mereka ditempa untuk hidup dalam kondisi sulit dan tetap teguh dalam iman.

      Menumbuhkan Jiwa Kepemimpinan dan Kesiapan Jihad — Pendidikan Shuffah tidak melahirkan pemikir pasif, tetapi aktivis Islam yang siap menyebarkan risalah ke seluruh penjuru dunia, bahkan hingga ke wilayah Romawi dan Persia.

      Pembinaan Terfokus dan Terstruktur — Jumlah penghuni yang terbatas menjadikan proses pembinaan lebih intensif. Rasulullah ﷺ mampu memberikan perhatian penuh dalam pembentukan karakter dan spiritualitas mereka.

      Basis Gerakan Perubahan — Para alumni Shuffah kemudian menjadi pelopor dakwah dan penggerak umat (Muharrik). Mereka tidak hanya berhenti belajar, tetapi bergerak menyebarkan Islam ke berbagai wilayah, menjadikan pendidikan ini bersifat transformatif.

      Relevansi Shuffah untuk Pendidikan Hari Ini

      Di era modern, banyak lembaga pendidikan Islam yang mengadopsi semangat Shuffah—dengan tarbiyah terpadu, kaderisasi yang terstruktur, dan penekanan pada militansi dakwah. Beberapa nilai yang bisa diambil antara lain:

      Pentingnya keterpaduan antara ilmu, amal, dan akhlak. Pendidikan harus membentuk pribadi pejuang, bukan sekadar pencari ijazah.

      “Lembaga pendidikan harus membina kader umat yang tangguh, kritis, dan memiliki visi peradaban.”

      Shuffah bukan hanya sebuah tempat, tapi adalah manhaj pendidikan perjuangan. Ia adalah cikal bakal institusi kaderisasi umat yang berhasil menanamkan nilai-nilai ruhiyah, ilmu, dan semangat jihad dalam satu tarikan nafas. Dunia Islam hari ini membutuhkan kembali semangat Shuffah untuk melahirkan generasi yang bukan hanya cerdas, tetapi juga siap berjuang demi tegaknya Islam di muka bumi.

      “Shuffah bukanlah masa lalu yang selesai, tapi warisan yang harus dihidupkan kembali.” 

      Red: Dr. (CAND) Hasan Yusuf, M.Pd.

      Renungan bingkai Al Jama’ah dalam Urgensi Pendidikan Berbasis Masyarakat Islam

      YOGYAKARTA, PONPES SHUFFAH AL JAMA’AH TASIKMALAYA — Tarbiyah adalah proses pembinaan yang bertujuan membentuk pribadi Muslim yang sempurna (insan kāmil) dalam aspek iman, akhlak, ilmu, dan amal. Dalam Islam, Rasulullah Muhammad ﷺ adalah teladan utama (uswah ḥasanah) dalam melaksanakan tarbiyah yang mencetak generasi terbaik: para sahabat radhiyallāhu ‘anhum. Kali ini membahas metode dan ruh tarbiyah Rasulullah ﷺ dalam perspektif Al-Jama’ah, yaitu pemahaman Islam yang lurus, menyeluruh, dan berjamaah.

      Makna Tarbiyah dalam Islam
      Secara bahasa, tarbiyah berasal dari kata rabā–yurbī yang berarti menumbuhkan, memelihara, dan menyempurnakan. Dalam konteks Islam, tarbiyah bukan sekadar transfer ilmu, tapi proses mendidik jiwa, membentuk karakter, dan menanamkan nilai-nilai ilahiyah secara bertahap dan berkesinambungan.

      Dalam QS. Al-Jumu‘ah: 2, Allah berfirman:

      Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul dari kalangan mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, menyucikan mereka, dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah…” (QS. Al-Jumu‘ah: 2)

      Ayat ini menunjukkan 4 pilar pendidikan Islam: tilāwah (pembacaan wahyu), tazkiyah (pensucian jiwa), ta‘lim (pengajaran ilmu), dan taḥkīm (pemahaman hikmah). Inilah dasar tarbiyah ala Rasulullah ﷺ.

      Metode Tarbiyah Rasulullah ﷺ

      1. Teladan Pribadi (Uswah Hasanah)
      Rasulullah ﷺ adalah guru kehidupan. Beliau mendidik bukan hanya dengan lisan, tapi juga dengan perilaku. Beliau hidup bersama sahabat, makan bersama mereka, berperang bersama mereka, dan menangis bersama mereka. Inilah madrasah hidup yang paling efektif.

      2. Tadarruj (Bertahap/Proses)
      Rasulullah ﷺ membina para sahabat secara bertahap. Di Makkah, fokus pada tauhid dan kesabaran. Di Madinah, beliau memperluas pendidikan menuju syari’ah dan muamalah. Tidak ada pemaksaan instan, tapi proses yang menyentuh hati dan kesadaran.

      3. Suhbah (Kebersamaan)
      Kebersamaan Rasul dengan para sahabat menumbuhkan cinta, kepercayaan, dan loyalitas. Melalui suhbah, tarbiyah menjadi hidup, bukan sekadar teori.

      4. Muraqabah dan Muhasabah
      Beliau membiasakan para sahabat untuk introspeksi diri dan merasa selalu diawasi Allah. Pendidikan hati ini melahirkan para mujahid dan pemimpin yang ikhlas.

      5. Penguatan Ukhuwah dan Jama’ah
      Rasulullah ﷺ tidak hanya membina individu, tapi juga membentuk masyarakat Islami yang saling terikat dalam ukhuwah. Konsep Jama’ah menjadi bagian Integral dari tarbiyah Islam.

      Perspektif Al-Jama’ah dalam Tarbiyah

      Dalam pemikiran harakah Islamiyah dan manhaj tarbiyah Al-Jama’ah, pendidikan Islam bukan sekadar mengisi akal dengan ilmu, tetapi:

      1. Membentuk Syakhsiyah Islamiyah (Kepribadian Islam)
      Melalui proses pembinaan iman, amal, dan akhlak, tarbiyah mencetak individu yang tunduk total kepada Allah dalam seluruh aspek hidup.

      2. Mengikat dengan Jama’ah dan Amal Jama’i
      Tarbiyah tidak berjalan sendiri, tapi dalam bingkai jama’ah. Pendidikan dalam Al-Jama’ah bertujuan menumbuhkan kesadaran kolektif untuk membangun masyarakat Islam.

      3. Menuju Tujuan Besar Umat (Iqāmatud Dīn)
      Tarbiyah bukan hanya membina untuk diri pribadi, tapi untuk tegaknya agama Allah di muka bumi. Maka, orientasi tarbiyah adalah haraki dan perubahan sosial, bukan hanya kesalehan individual.

      Contoh Implementasi Tarbiyah Ala Rasul dalam Al-Jama’ah
      Halaqah (Lingkaran Tarbiyah) – Mirip dengan halaqah-halaqah Rasulullah ﷺ di Dar al-Arqam.

      Mentoring Personal (Muraqabah) – Seperti Rasul yang memantau perkembangan ruhiyah dan ilmiyah sahabat-sahabat utama.

      Taklif Amaliyah – Penugasan dalam dakwah, jihad, pelayanan umat sebagai bentuk pendidikan melalui pengalaman (learning by doing).

      Mabit, Rihlah Tarbawiyah, dan Mukhayyam – Metode untuk membangun spiritualitas, ukhuwah, dan kesiapan dakwah, sebagaimana Rasulullah mendidik sahabat dalam safar dan jihad. Wallahu Alam Bishowab.

       

      Red: Dr. (CAND) Hasan Yusuf, M.Pd.

      Copyright © 2025 · Shuffah Al Jama’ah · All Right Reserved