Renungan bingkai Al Jama’ah dalam Urgensi Pendidikan Berbasis Masyarakat Islam

YOGYAKARTA, PONPES SHUFFAH AL JAMA’AH TASIKMALAYA — Tarbiyah adalah proses pembinaan yang bertujuan membentuk pribadi Muslim yang sempurna (insan kāmil) dalam aspek iman, akhlak, ilmu, dan amal. Dalam Islam, Rasulullah Muhammad ﷺ adalah teladan utama (uswah ḥasanah) dalam melaksanakan tarbiyah yang mencetak generasi terbaik: para sahabat radhiyallāhu ‘anhum. Kali ini membahas metode dan ruh tarbiyah Rasulullah ﷺ dalam perspektif Al-Jama’ah, yaitu pemahaman Islam yang lurus, menyeluruh, dan berjamaah.

Makna Tarbiyah dalam Islam
Secara bahasa, tarbiyah berasal dari kata rabā–yurbī yang berarti menumbuhkan, memelihara, dan menyempurnakan. Dalam konteks Islam, tarbiyah bukan sekadar transfer ilmu, tapi proses mendidik jiwa, membentuk karakter, dan menanamkan nilai-nilai ilahiyah secara bertahap dan berkesinambungan.

Dalam QS. Al-Jumu‘ah: 2, Allah berfirman:

Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul dari kalangan mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, menyucikan mereka, dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah…” (QS. Al-Jumu‘ah: 2)

Ayat ini menunjukkan 4 pilar pendidikan Islam: tilāwah (pembacaan wahyu), tazkiyah (pensucian jiwa), ta‘lim (pengajaran ilmu), dan taḥkīm (pemahaman hikmah). Inilah dasar tarbiyah ala Rasulullah ﷺ.

Metode Tarbiyah Rasulullah ﷺ

1. Teladan Pribadi (Uswah Hasanah)
Rasulullah ﷺ adalah guru kehidupan. Beliau mendidik bukan hanya dengan lisan, tapi juga dengan perilaku. Beliau hidup bersama sahabat, makan bersama mereka, berperang bersama mereka, dan menangis bersama mereka. Inilah madrasah hidup yang paling efektif.

2. Tadarruj (Bertahap/Proses)
Rasulullah ﷺ membina para sahabat secara bertahap. Di Makkah, fokus pada tauhid dan kesabaran. Di Madinah, beliau memperluas pendidikan menuju syari’ah dan muamalah. Tidak ada pemaksaan instan, tapi proses yang menyentuh hati dan kesadaran.

3. Suhbah (Kebersamaan)
Kebersamaan Rasul dengan para sahabat menumbuhkan cinta, kepercayaan, dan loyalitas. Melalui suhbah, tarbiyah menjadi hidup, bukan sekadar teori.

4. Muraqabah dan Muhasabah
Beliau membiasakan para sahabat untuk introspeksi diri dan merasa selalu diawasi Allah. Pendidikan hati ini melahirkan para mujahid dan pemimpin yang ikhlas.

5. Penguatan Ukhuwah dan Jama’ah
Rasulullah ﷺ tidak hanya membina individu, tapi juga membentuk masyarakat Islami yang saling terikat dalam ukhuwah. Konsep Jama’ah menjadi bagian Integral dari tarbiyah Islam.

Perspektif Al-Jama’ah dalam Tarbiyah

Dalam pemikiran harakah Islamiyah dan manhaj tarbiyah Al-Jama’ah, pendidikan Islam bukan sekadar mengisi akal dengan ilmu, tetapi:

1. Membentuk Syakhsiyah Islamiyah (Kepribadian Islam)
Melalui proses pembinaan iman, amal, dan akhlak, tarbiyah mencetak individu yang tunduk total kepada Allah dalam seluruh aspek hidup.

2. Mengikat dengan Jama’ah dan Amal Jama’i
Tarbiyah tidak berjalan sendiri, tapi dalam bingkai jama’ah. Pendidikan dalam Al-Jama’ah bertujuan menumbuhkan kesadaran kolektif untuk membangun masyarakat Islam.

3. Menuju Tujuan Besar Umat (Iqāmatud Dīn)
Tarbiyah bukan hanya membina untuk diri pribadi, tapi untuk tegaknya agama Allah di muka bumi. Maka, orientasi tarbiyah adalah haraki dan perubahan sosial, bukan hanya kesalehan individual.

Contoh Implementasi Tarbiyah Ala Rasul dalam Al-Jama’ah
Halaqah (Lingkaran Tarbiyah) – Mirip dengan halaqah-halaqah Rasulullah ﷺ di Dar al-Arqam.

Mentoring Personal (Muraqabah) – Seperti Rasul yang memantau perkembangan ruhiyah dan ilmiyah sahabat-sahabat utama.

Taklif Amaliyah – Penugasan dalam dakwah, jihad, pelayanan umat sebagai bentuk pendidikan melalui pengalaman (learning by doing).

Mabit, Rihlah Tarbawiyah, dan Mukhayyam – Metode untuk membangun spiritualitas, ukhuwah, dan kesiapan dakwah, sebagaimana Rasulullah mendidik sahabat dalam safar dan jihad. Wallahu Alam Bishowab.

 

Red: Dr. (CAND) Hasan Yusuf, M.Pd.

Membangun SDM Unggul di Ponpes Shuffah Al-Jama’ah Tasikmalaya dengan 5 Karakter Utama

Pondok Pesantren Shuffah Al-Jama’ah Tasikmalaya dikenal sebagai lembaga pendidikan yang mengedepankan nilai-nilai keislaman dan pembentukan karakter. Dalam era modern ini, keberhasilan sebuah lembaga tidak hanya diukur dari kualitas ilmu yang disampaikan, melainkan juga dari pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) yang memiliki integritas dan komitmen tinggi. Untuk itu, pesantren ini menerapkan 5 karakter utama yang wajib dimiliki oleh setiap insan yang terlibat di dalamnya. Karakter tersebut adalah: Etikabilitas, Intelektualitas, Elektabilitas, Integritas, dan Loyalitas.

Etikabilitas merupakan fondasi awal yang mendasari setiap tindakan. Bagi SDM di Pondok Pesantren Shuffah Al-Jama’ah, ini berarti menjaga etika dalam berkomunikasi, berinteraksi, serta menjalankan tugas dengan penuh tanggung jawab dan kesopanan. Dengan memiliki etikabilitas yang tinggi, setiap individu diharapkan mampu menjadi teladan dalam bersikap santun dan menghormati sesama rekan kerja, santri, serta masyarakat sekitar. Etikabilitas ini menciptakan lingkungan kerja yang harmonis dan profesional, sejalan dengan nilai-nilai Islami yang dipegang teguh oleh pesantren.

Pesantren Shuffah Al-Jama’ah senantiasa mendorong seluruh SDM-nya untuk terus meningkatkan kemampuan intelektual sebagai modal utama dalam menghadapi tantangan zaman. Intelektualitas disini mencakup pola pikir yang kritis dan analitis, kecerdasan dalam menyelesaikan masalah, serta pemahaman yang baik terhadap tugas dan tanggung jawab yang diemban.

Melalui program pelatihan dan pengembangan kompetensi, SDM didorong untuk terus belajar dan berinovasi agar mampu menghadapi dinamika dunia pendidikan yang terus berkembang. Dengan pola pikir yang terbuka serta pemahaman yang mendalam terhadap ajaran agama, para pendidik dan pengurus pesantren dapat menghasilkan inovasi-inovasi yang relevan dengan kebutuhan perkembangan masyarakat.

Elektabilitas dalam konteks ini bukan sekadar popularitas, tetapi lebih kepada kemampuan SDM untuk menunjukkan jati diri yang kuat dalam mengemban amanah dan tanggung jawab. Setiap individu di Pondok Pesantren Shuffah Al-Jama’ah didorong untuk memiliki komitmen yang tinggi dan sikap profesional dalam menjalankan peran masing-masing. Dengan demikian, kepercayaan masyarakat dan santri terhadap lembaga ini semakin terjaga, dan pesantren dapat berperan secara optimal dalam mencetak generasi yang berintegritas.

Integritas menjadi nilai kunci yang mengikat seluruh karakter unggul dalam SDM pesantren. Kejujuran, transparansi, dan konsistensi dalam setiap tindakan adalah landasan yang harus dimiliki oleh para pendidik, pengurus, serta seluruh elemen pesantren. Dengan integritas yang tinggi, pesantren tidak hanya mampu menjaga reputasi baik, tetapi juga menciptakan lingkungan yang jujur & terpercaya, sehingga terbangun kredibilitas pesantren di mata masyarakat.

Nilai loyalitas mengajarkan setiap individu untuk selalu setia dan patuh terhadap aturan yang sudah ditetapkan, baik dalam lingkup internal pesantren maupun terhadap nilai-nilai keislaman yang menjadi pedoman hidup. Loyalitas ini menjadi salah satu modal penting dalam menjaga kesatuan dan kekompakan, sehingga seluruh elemen di Pesantren Shuffah Al-Jama’ah dapat bekerja sama dalam mewujudkan visi misi pesantren untuk mencetak generasi Qurani yang beradab, beriman, dan mampu mengamalkan ilmunya.

Selaras dengan lima karakter SDM unggul tersebut, Pesantren Shuffah Al-Jama’ah juga mengedepankan tetralogi pesantren sebagai Landasan Pembentukan Generasi Qurani bagi santri. Tetralogi yang dimaksud berbunyi “Beradab, Beriman, Beramal, Membentuk Generasi Qurani.”

Dengan mengimplementasikan karakter Etikabilitas, Intelektualitas, Elektabilitas, Integritas, dan Loyalitas dalam keseharian kerja, diharapkan seluruh SDM mampu menjadi teladan dalam bekerja dengan penuh tanggung jawab dan keikhlasan. Sehingga, mereka tidak hanya berkontribusi dalam kemajuan pesantren, tetapi juga berkontribusi dalam mewujudkan visi pesantren untuk mewujudkan generasi qurani dan menjadi agen perubahan positif bagi masyarakat.

Mari bersama membangun SDM berkarakter yang beradab, beriman, beramal, dan berjiwa Qurani untuk kemajuan pesantren dan umat!


Artikel ditulis oleh : Eva Mutiarani

Dengan Concept Standard Operating Procedure Management (SOPM) by :
Mudirus Shuffah Ust. Hasan Yusuf, S.Pd.,M.Pd

Rahasia Self Love dalam Islam oleh Maulida Mawar, santri Ponpes Shuffah Al Jama’ah | Pesantren Terbaik Tasikmalaya

Mencintai diri sendiri atau self-love sering kali menjadi topik yang banyak dibahas dalam kehidupan modern. Namun, dalam Islam, konsep mencintai diri sendiri sejatinya sudah diajarkan sejak dahulu. Islam mengajarkan umatnya untuk menghargai, merawat, dan menerima diri sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah SWT. 

Imam Al-Ghazali menyebutkan tingkatan cinta yang paling penting adalah dengan mencintai diri sendiri. Mengapa demikian? Karena mencintai diri sendiri berarti menerima kekurangan dan kelebihan yang ada pada diri sendiri serta menerima segala yang telah Allah berikan kepada kita.

Ada banyak langkah untuk mencintai diri sendiri, berikut kita akan bahas beberapa langkah mencintai diri sendiri yang sesuai dengan ajaran Islam:

1. Mulai dengan Mengenal Diri Sendiri

Imam Al-Ghazali pernah berkata, “Barang siapa mengenal dirinya, maka dia akan mengenal Tuhannya.” Pernyataan ini menunjukkan bahwa mengenal diri bukan hanya upaya untuk memahami siapa kita, tetapi juga sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Cobalah untuk menuliskan apa saja kelebihanmu, seperti bakat, keterampilan, atau sifat baik, kemudian identifikasi kekurangan yang ada untuk di evaluasi & perbaiki, tuliskan apa saja ujian yang berhasil kamu lalui & hikmah dibaliknya. Dengan cara ini kita dapat lebih mengerti dan mensyukuri apa-apa yang telah Allah anugerahkan.

2. Menerima Kekurangan Diri

Setiap manusia diciptakan Allah SWT dengan keunikan dan ciri khasnya masing-masing. Dalam kehidupan sehari-hari, tidak jarang seseorang merasa kurang puas dengan dirinya sendiri, baik karena faktor fisik, kemampuan, atau keadaan tertentu. Namun, Islam mengajarkan bahwa menerima kekurangan diri adalah bagian dari ibadah hati yang mendekatkan kita kepada Allah SWT. 

Mencintai diri sendiri berarti menerima kekurangan dan kelebihan yang ada pada diri kita serta mensyukuri apa yang telah Allah berikan. Sebagaimana firman Allah dalam Surah At-Tin ayat 4:

لَقَدْ خَلَقْنَا الْاِنْسَانَ فِيْٓ اَحْسَنِ تَقْوِيْمٍۖ

“Sungguh, Kami benar-benar telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” 

Ayat ini mengingatkan kita bahwa setiap manusia adalah ciptaan terbaik Allah. Kekurangan yang kita lihat dalam diri sendiri seringkali hanyalah perspektif subjektif. Dalam pandangan Allah, kita telah diberikan tubuh, akal, dan ruh yang sempurna untuk menjalankan misi hidup di dunia.

Dengan menerima kekurangan diri, hal ini bukan hanya bentuk penghargaan terhadap diri sendiri tetapi juga wujud rasa syukur kepada Allah SWT atas segala nikmat-Nya. Menyadari hikmah dibalik kekurangan serta berhenti membandingkan diri dengan orang lain akan membuat perasaan syukur kita semakin bertambah.

3. Bermuhasabah atau Evaluasi Diri

Mengenal diri juga membutuhkan muhasabah atau evaluasi diri. Muhasabah berarti menilai diri sendiri, baik dari segi perbuatan, niat, maupun pencapaian dalam menjalankan perintah Allah. Melalui muhasabah, seorang Muslim dapat memahami kekurangan, kelebihan, serta potensi yang Allah berikan untuk memaksimalkan ibadah dan amal kebaikan. Selain itu, kita juga bisa menyadari apa yang harus diperbaiki dan apa yang harus dipertahankan.

4. Berhenti Membandingkan Diri dengan Orang Lain

Membandingkan diri dengan orang lain hanya akan menimbulkan rasa iri dan kurang percaya diri. Dalam Islam, setiap orang memiliki rezeki, ujian, dan perjalanan hidup yang berbeda.

Fokuslah pada diri sendiri dan jadilah versi terbaik dari dirimu sesuai kemampuan yang Allah berikan. Jangan mengharapkan tepuk tangan orang lain, cukup apresiasi setiap kebaikan kecil yang telah kamu lakukan setiap harinya. 

5. Memperbanyak Amal Baik

Dengan memperbanyak berbuat baik memunculkan nilai positif pada diri sendiri. Memperbanyak amal baik tentunya salah satu mencintai diri sendiri agar terbiasa berbuat kebaikan. Banyak berbuat baik, banyak pula balasan baik yang akan kita dapatkan. Karena kebaikan akan dibalas dengan kebaikan pula, sedangkan kejahatan akan dibalas dengan kejahatan pula. Sebagaimana firman Allah swt dalam QS. Al-Isra Ayat 7 :

…إِنْ أَحْسَنتُمْ أَحْسَنتُمْ لِأَنفُسِكُمْ ۖ وَإِنْ أَسَأْتُمْ فَلَهَا

Artinya: “Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat, maka (kejahatan) itu bagi dirimu sendiri..”

Amal baik bukan hanya hal-hal yang besar, bisa kita mulai dari hal-hal yang kecil, seperti berbicara dengan sopan pada orang lain dan hal kecil lainnya.

Tentunya ada banyak cara untuk mencintai diri sendiri. Dengan mencintai diri, kita tidak hanya menjadi pribadi yang lebih baik, tetapi juga lebih dekat kepada Allah. Jadikan cinta kepada diri sendiri sebagai langkah awal untuk mencintai Allah SWT dan makhluk-Nya. Semoga kita semua diberi kekuatan untuk terus mencintai diri dengan cara yang diridhai Allah. Aamiin.

Author : Maulida Mawar Taslimah
Cover & Layout : Eva Mutiarani

Copyright © 2025 · Shuffah Al Jama’ah · All Right Reserved